DUNIA POLITIK DITENGAH COVID-19
Tahun
2020 menjadi sebuah tantangan yang sangat besar untuk Negara Indonesia
sekaligus bahan uji untuk melihat kondisi Negara ini dalam berbagai bidang,
salah satunya di dunia politik. Hal ini diakibatkan satu mahluk tak kasat mata
yang bernama corona. World
Health Organization (WHO) telah menjelaskan bahwa banyak sekali timbul penyakit
akibat virus ini sebagai pandemi global – berarti bahwa penularan dan
ancamannya telah melampaui batas-batas antarnegara. Kewaspadaan berbagai negara
dan masyarakat internasional pun semakin memuncak. Dengan
adanya perkembangan kasus-kasus positif, menjadi wajar apabila publik semakin
ingin tahu mengenai seluk beluk dari penyebaran virus ini di Indonesia. Soal
lokasi penyebaran misalnya, dianggap perlu agar masyarakat dapat berantisipasi
terhadap penularan di daerahnya.Namun,
tampaknya, pemerintah tidak semudah itu untuk menuruti keinginan ini.
Sekretaris Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) Achmad Yurianto menyebutkan bahwa publikasi atas lokasi
penyebaran tidak perlu dilakukan oleh pemerintah karena dapat menimbulkan
respons bermacam-macam.Dengan
adanya fakta ketentuan yang terkandung dalam UU Kesehatan dan UU Pemerintah
Daerah, bisa dibilang bahwa penanganan penyakit menular Covid-19 ini seharusnya
tidak secara eksklusif berada di bawah kendali pemerintah pusat. Hal
ini tentunya menyisakan pertanyaan baru. Mengapa pemerintah pusat lantas
berupaya memusatkan penanganan Covid-19? Bagaimana hal ini dapat dipahami dari
dimensi politik. Berdasarkan pemikiran
Foucauldian, power dan knowledge memiliki hubungan yang
saling memberi arti. Seseorang yang memiliki power dapat
membentuk knowledge – seperti kebenaran yang diyakini – di masyarakat.
Begitu juga sebaliknya, knowledge dapat
memberikan power pada pemilik pengetahuan. Mungkin,
dengan membuat informasi dan pengetahuan menjadi eksklusif, pemerintah pusat
berupaya untuk menjaga power yang dimilikinya. Hal inilah yang
disebut-sebut dilakukan oleh pemerintahan Xi Jinping di Tiongkok Dari
lima sektor tersebut, sekuritisasi yang terjadi terkait Covid-19 di Indonesia
mungkin adalah sekuritisasi di sektor politik. Pasalnya, sekuritisasi di sektor
ini bisa menjadi ancaman bagi entitas politiknya seperti pemerintah. Mungkin,
pembatasan kewenangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat adalah bentuk
kekhawatiran (insecurity) atas ancaman sekuritisasi yang bisa saja dilakukan
oleh pemerintah daerah. Melihat
hal ini pemerintah pun bereaksi akan memberlakukan hukum bagi siapa saja yang
mencoba untuk menimbun kebutuhan masyarakat itu. Hukuman ini sesuai dengan
ketentuan di Pasal 29 ayat (1) juncto Pasal 107 UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan, dengan ancaman maksimal penjara 5 tahun dan denda Rp 50 miliar.
Tetapi, lagi-lagi pemerintah mendapatkan kritik setelah pemerintah menyampaikan
itu. Pemerintah dinilai kurang tegas ketika melihat realitasnya masih banyak
terdapat penjual masker dan hand sanitizer yang menjual harga yang tinggi
begitupun juga di toko-toko online. Banyak yang menyarankan agar negara
memfasilitasi kedua jenis produk di tempat umum kepada masyarakat secara
cuma-cuma. Kepanikan
ini berlanjut, masyarakat menuntut pemerintah pusat agar segara
memberlakukan lockdown negara mengingat korban corona makin
bertambah. Menurut Achmad Yurianto, juru bicara pemerintah khusus untuk
penanganan virus corona, menyatakan bahwa terdapat 309 orang yang positif
terkena corona dan 25 orang telah meninggal Dalam
hal penciptaaan suatu suatu kebijakan publik perlu adanya agenda setting
sebagai fase yang fundamental untuk memahami atau memaknai suatu masalah atau
isu publik sebelum menjadi suatu kebijakan publik. Rakyat tidak selamanya harus
tetap mengikuti suatu kebijakan publik karena dalam sistem demokrasi rakyat
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang berhak untuk mengintervensi suatu
kebijakan bahkan membatalkannya tanpa harus melewati perwakilan rakyat.
Komentar
Posting Komentar